Puisi-puisi Agus Widiey
Elegi Laut
laut
itu luas, anakku
tak
ada batas.
ombaknya
bebas berderu,
ke
segala penjuru.
di
sana,
ikan
bernafas lega,
karena
warnanya jernih terjaga.
di
sana pula,
layar
perahu mengembang,
mengikuti
mata angin dan gelombang
laut
menampung garam kehidupan
asin,
tapi penuh makna.
meragamkan
warna harapan
tanpa
harus menyeragamkan
yang
ada,—di dalamnya.
tapi
hari ini, ibu
laut
makin berantakan
dimakan
kepentingan
dan
nafsu penghabisan.
Yogyakarta,
2023
Lagu Perpisahan
dan
inilah satu-satunya lagu yang dapat didengarkan
saat
orang-orang meratapi perpisahannya
ia
dituliskan; tepat ketika bulan miring ke kanan
dan
bayang-bayang uzlah dari keramaian.
—keinginan
yang berubah bentuknya,
menyimpan
masa lalu setiap detiknya—
barangkali,
perpisahan lebih banyak dipertanyakan
ketimbang
mempernyatakan kembali pertemuan pertama kali.
dan
sepertinya setiap orang mesti bertanya;
mengapa
setiap pertemuan dirayakan dengan perpisahan,_pada akhirnya.
Yogyakarta,
2024
Fragmen Sebuah Hujan
di
sini,
baru
saja aku melihat
bagaimana
hujan tercipta
dari
uap rindu yang ditahan hatimu.
air
mata pun turun
membasahi
kebun pipimu
dan
panas-dingin menyatu
antara
ruang dan waktu.
di
setiap lubang
ada
yang menggenang
seperti
beberapa kenangan yang berenang
memandikan
kisahnya yang tak dapat diulang.
sedang
aku mengisahkan kenangan
dalam
dirimu,
penuh
seluruh waktu
sebelum
masa lalu menjemput kita pada batas.
Yogyakarta,
2022
Selamat Membaca, Ibu
minggu
lalu puisiku dimuat
orang-orang
mengucapkan selamat
tapi
aku akan merasa lebih bahagia
jika
ibu jadi pembaca pertama.
sering
kali aku teringat
pada
kecerobohanku sendiri
dan
ibulah yang kerap mengajari
agar
memilih sesuatu dengan cermat.
–sebagaimana
ketika ibu membelikan baju
dengan
ukuran pas, dan sesuai warna kesukaanku–
maka
dari itu,
aku
belajar memilih kata
dengan
hemat dan cermat
agar
pengamat ikut merasa nikmat.
selamat
membaca, ibu
karena
hari ini,
hanya
puisi yang kumiliki.
Yogyakarta,
2023
Tangis Sebutir Nasi
– M. Faizi
siapa
di antara kami
yang
telah merusak bumi.
ketika
meja makan menjelma seperti rayap
akibat
sampah yang menimbun, tanah pun tak lagi lembap.
mungkin
cuaca lebih demam dari masalalu
bila
sebutir nasi yang diharapkan pengemis di jalan itu
dibuang
dengan bungkus yang keabadiannya melebihi rindu.
apakah
pikiran hanya untuk mempertanyakan
dan
mempernyatakan kesalahan dan kebenaran,
sementara
menakar makan untuk perut sendiri tak mampu
sebagaimana
merencanakan masadepan yang belum tentu.
udara
menguap bau melankolis
sedang
ekologis makin terkikis
;nyaris!
Yogyakarta,
2023
Lukisan Akhir Pekan
–imam yunni
pada
lukisanmu yang kesekian
terselip
cat dengan warna pucat
seperti
gedung perencanaan
masa
depan negara dan agama.
angin
merapat ke retak dinding
darah
dan sejarah masih berserakan
karena
orde batu sulit dibanting.
tanganmu
meraba kanvas
dan
meringkas kesedihan
lewat
gambaran suatu musim
dengan
aliran panas-dingin.
jendela
meratapi cuaca,
hujan
gagal menyapa.
tapi
lukisanmu
tak
alpa
tiap
akhir pekan
menarik
mata
dari
tidur
di
hari libur.
Yogyakarta,
2023
Agus
Widiey, Lahir di Sumenep 17 Mei. Menulis Puisi,
Cerpen, Cernak, Cermisdan Resensi. Tulisannya tersebar diberbagai surat kabar
seperti, Tempo, Rakyat Sultra, Lombok Post, Nusa Bali, Banten Raya, Kedaulatan
Rakyat, Pikiran Rakyat dll. Pernah
menjuarai lomba cipta puisi yang diselenggarakan Majelis Sastra Bandung
(2021).
Nio
Zaharani, pengajar di SMPN 1
Loceret, bergiat seni dan sastra di Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk.
Posting Komentar untuk "Puisi-puisi Agus Widiey"
Posting Komentar