Lagu Kita Masih Sama
Literasinganjuk.com—Gempur
Nagari tercatat sebagai penduduk di sebuah kampung kecil yang sebagian besar
penduduknya hidup sebagai petani. Ia dikenal sebagai orang pendiam, tak banyak
bicara, juga jarang bergaul dengan tetangga kanan kirinya. Karena itu tak ada
yang tahu persis dari mana ia berasal dan sejak kapan tinggal di kampung ini.
Sikap penduduk desa yang ramah dan selalu terbuka memang memungkinkan bagi
siapa saja untuk singgah dan menetap.
Karena
kepribadiannya yang tertutup, semula tak banyak orang yang tahu dan mengenal
Gempur Nagari. Bahkan mendengar namanya saja orang sudah merasa asing.
Bermula
dari program pemerintah konvensi minyak tanah ke gas, nama Gempur Nagari mulai
banyak dibicarakan orang. Bukan karena ia ikut berperan menyukseskan program
itu, tapi sebaliknya, ia justru menentang. Betapa tidak! Ketika seluruh warga
kampung bersuka cita menerima pembagian kompor gas dan tabung gas 3 kg secara
gratis, Gempur Nagari malah menolaknya. Ia mengembalikan jatah kompor dan
tabung gas pada Pak RT selaku pembaginya.
“Pak RT,
saya tidak mau menerima kompor dan tabung gas ini. Karena ini adalah program
pembodohan,” ucapnya, sehingga warga lain yang masih mengantri kaget bukan
kepalang.
Pak RT
dan semua warga yang mendengar ocehan Gempur Nagari pada melongo. Mereka yang biasa
berpola pikir sederhana, tak mampu diajak bicara setinggi itu. Jangankan bicara
soal birokrasi, soal kehidupannya sendiri saja, jarang sekali. Asal hari ini
kebutuhan makan bisa tercukupi bagi mereka sudah merupakan hal yang patut
disyukuri.
“Saya
tidak paham dengan omonganmu, Gempur! Terus sekarang maumu bagaimana?” tanya
Pak RT.
“Saya
tidak mau menerima kompor dan tabung gas ini.”
“Tidak
bisa begitu, Gempur! Namamu sudah terdaftar, jadi kau harus terima. Soal kau
pakai atau tidak, itu terserah. Yang penting kau tanda tangani tanda terima
ini.”
“Atau
berikan saya saja, Gempur,” timpal seorang warga wanita.
“Memang
kalau tabung gas ini meleduk, kalian semua mau bertanggung jawab? Tidak
bukan?!” tantang Gempur Nagari sambil menatap semua yang ada.
Suasana
hening. Tak ada seorang pun yang bersuara. Mereka hanya saling pandang dengan
orang di dekatnya. Karena sudah bukan rahasia lagi, kejadian kompor gas meleduk
sudah setiap hari mewarnai berita di televisi. Ada yang sampai membakar rumah,
bahkan sampai menelan korban jiwa. Kalau sudah begini, siapa yang bertanggung
jawab? Ya si pemakai itu sendiri. Padahal sebagai konsumen mereka seharusnya
dilindungi.
Karena
itu, Gempur Nagari memandangnya sebagai program pembodohan. Sebab subsidi
minyak tanah yang dulunya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat, kini subsidi itu
dikumpulkan dan hanya dinikmati oleh pengusaha kompor dan gas itu. Buktinya di awal
konversi itu dilaksanakan, harga satu tabung gas 3 kg hanya delapan ribu
rupiah, tapi tak seberapa lama kemudian jadi enam belas ribu.
Sejenak
Pak RT tampak bisik-bisik dengan pengurus RT lainnya. Setelah ada kata sepakat,
barulah Pak RT menghampiri Gempur lagi.
“Sudah,
begini saja, Gempur. Kau tandatangani surat bukti penerimaannya. Kalau setelah
itu kau tidak mau memakai kompornya, silakan kau berikan pada siapa pun yang kau
inginkan.”
Gempur
Nagari tersudutlah sudah. Dengan terpaksa, ia tanda tangani bukti terima.
Setelah itu, ia membawa pulang kompor dan tabung gas jatahnya.
****
Kejadian
itu tersebar dari mulut ke mulut hingga seluruh warga mendengarnya. Bagi
sebagian warga yang tak mau berpikir nyleneh,
menganggap Gempur Nagari adalah orang tak waras yang mencari perhatian. Semua
tahu, ia dihantui rasa kesepian semenjak ditinggal lari istrinya dengan
laki-laki lain. Namun, bagi warga yang sedikit berwawasan luas dan suka membaca
berita, berasumsi bahwa apa yang dilontarkan Gempur Nagari memang masuk akal
juga.
Cara
pandang Gempur Nagari yang terkadang seperti pola pikir para birokrat itu,
banyak disenangi oleh para pemuda yang kritis dan mudah bergejolak darahnya.
Dari
para pemuda itulah, kabar tentang kecerdasan wawasan Gempur Nagari yang oleh
sebagian warga dianggap nyleneh,
sampai ke telinga perangkat desa. Lantas Pak Lurah pun memutuskan untuk
memanggil Gempur Nagari.
“Gempur,
apa benar apa yang dikatakan banyak orang bahwa kau menolak pembagian kompor
dan tabung gas?” tanya Pak Lurah ketika Gempur datang ke kantor desa. Seperti
seorang tokoh penting, kedatangan Gempur pagi itu, disambut pula oleh semua
perangkat desa yang ada.
“Benar,
Pak,” jawab Gempur dengan anggukkan kepala.
“Apa
alasannya?”
“Bapak
tentu sudah mendengarnya dari laporan para warga, ‘kan?” Balik tanya Gempur
sekenanya.
Pak
Lurah manggut-manggut. Entah bangga atau malah tidak nyaman pada warganya yang
satu ini.
“Kalau
begitu, itu artinya kamu tidak percaya pada pemerintah?” tanya Pak Lurah dengan
pandangan menghujam.
Sejenak
Gempur Nagari terdiam. Mencoba menjajaki arah dan tujuan pertanyaan Pak Lurah
ini. Tak sudi dibilang pengecut, ia pun tersenyum menyeringai.
“Bukannya
saya tidak percaya, Pak, tapi pemerintah sendiri yang membuat masyarakat
seperti saya kehilangan kepercayaan,” kata Gempur berdiplomasi.
“Bisa
dijelaskan bagaimana maksudnya, Gempur?”
“Ya,
seperti yang Pak Lurah tahu, sejak era reformasi berjalan, pemerintahan paling
keras berteriak menghapus korupsi. Tapi apa yang terjadi selanjutnya, justru
orang-orang di kursi pemerintahan sendiri yang paling banyak korupsi. Kalau
sudah demikian, siapa yang mau dipercaya? Karena hampir semua pejabat melakukan
hal yang sama. Maling berteriak maling! Secara pribadi, saya kasihan pada negeri
ini. Kepemimpinan yang bagus ternyata justru ditikam dari belakang oleh
oknum-oknum pemerintah sendiri.”
Kembali
Pak Lurah mengangguk-angguk. Mengakui kebenaran kata-kata yang diucapkan Gempur
tadi. Karena kenyataannya, semakin keras pemerintah berteriak anti korupsi,
justru semakin banyak kasus korupsi yang terjadi. Bahkan dengan nominal yang makin
tinggi.
“Yang
jelas, semua ini adalah skandal sosial yang sudah saatnya dicarikan satu
solusi. Agar pembunuhan karakter terhadap kepemimpinan negeri tidak terus
berlanjut. Sudah saatnya politik uang yang marak di negeri ini, dihapus,” kata
Gempur lagi.
Dengan
ucapan terima kasih dan rasa bangga yang tak terkira atas pemikiran-pemikiran
Gempur terhadap berbagai masalah yang terjadi di negeri ini, Pak Lurah
mengakhiri pertemuan itu.
Sejak
saat itulah Gempur Nagari sering diundang Pak Lurah untuk diajak diskusi
tentang berbagai permasalahan masyarakat yang perlu segera mendapat solusi.
****
Beberapa
bulan kemudian, ketika kampung mereka mendapat bantuan dana sebesar 125 juta
untuk pembangunan sebuah jembatan yang jebol karena diterjang banjir, atas
kemufakatan warga kampung, Gempur Nagari ditunjuk sebagai ketua pelaksana
sekaligus bendahara. Semula Gempur Nagari menolak. Ia merasa kurang pantas mendapat
kepercayaan sebesar itu. Akan tetapi, karena warga desa dan juga perangkat desa
termasuk Pak Lurah ikut merekomendasikan namanya, maka dengan rendah hati
akhirnya ia terima juga.
Bukan
tanpa alasan apabila seluruh warga dan aparat kelurahan memercayakan proyek itu
pada Gempur Nagari. Selain dikenal sebagai orang yang anti korupsi, ia juga
punya wawasan yang luas. Pola pikirnya dinilai lebih maju beberapa langkah dari
orang-orang sekitarnya. Maka demi kelancaran pembangunan jembatan itu, dana
sebesar 125 juta itu diserahkan pengelolaannya pada Gempur Nagari.
Benar
saja. Proyek itu berjalan lancar. Bahan bangunan dan material yang di perlukan,
datang tanpa pernah ada hambatan.
Hingga
suatu siang, ada tiga orang pemilik toko bahan bangunan yang selama ini menyuplai
material pembangunan jembatan, datang ke kantor kelurahan. Mereka menagih uang
material yang hingga kini belum dibayar sepeser pun. Pak Lurah dan aparat desa
yang lainnya, kaget bukan kepalang. Mereka masih belum percaya jika Gempur
Nagari belum membayar semua itu. Padahal tiap kali bahan bangunan baru datang,
Gempur selalu minta tanda tangan bukti penerimaan barang pada Pak Lurah. Dan
itu pasti ada stempel LUNAS.
Mengira
bahwa semua ini hanyalah salah paham, Pak Lurah berusaha menghubungi Gempur Nagari
dengan ponselnya, tapi tidak bisa! Nomor yang diberikan Gempur Nagari,
dua-duanya tidak aktif.
Pak
Lurah jadi kalang kabut. Seperti kebakaran jenggot, Pak Lurah menyuruh seorang
aparat desa untuk menjemput paksa Gempur Nagari dari rumahnya.
Pak
Lurah kian meradang. Dari laporan aparat desa yang disuruhnya, rumah Gempur
Nagari sudah kosong. Tetangga kanan-kirinya tidak ada yang tahu, Gempur pergi
ke mana. Tak mau menanggung resiko, Pak Lurah pun melaporkan masalah ini ke
kantor polisi.
Setelah
satu Minggu dilakukan pengejaran, polisi akhirnya berhasil menangkap Gempur Nagari
di stasiun kereta di kawasan Jawa Tengah. Rupa-rupanya ia berniat melarikan
diri keluar Jawa.
Di depan
penyidik, tanpa rasa bersalah Gempur Nagari mengakui semua perbuatannya. Tapi
ia tetap tak mau mengakui bahwa ia bersalah. Tentu saja hal itu membuat warga
dan seluruh aparat desa jadi geram. Mereka ngeluruk
ke kantor polisi dan memaki-maki Gempur Nagari yang kini dianggap penjahat.
Namun, di luar dugaan, semua makian dan hujatan keji yang dilontarkan banyak
orang, ditanggapi Gempur dengan tenang.
“Kalian
salah memaki-maki aku. Sebagai warga aku juga ikut memiliki uang itu. Aku bayar
pajak. Jadi juga punya hak. Sedangkan pejabat yang korupsi milyaran rupiah,
malah kalian biarkan. Cuma kalian tonton lewat tivi. Padahal itu juga uang
kalian. Kenapa Cuma aku yang kalian maki-maki?”
Mendengar
semua itu, warga kian geram. Untunglah polisi segera mengamankan Gempur Nagari
dengan memasukkannya ke dalam ruang tahanan.
Satu hal
yang membuat semua orang kian tercengang, bahwa ternyata Gempur Nagari itu
adalah seorang tahanan yang melarikan diri. Ia dulunya seorang anggota dewan
yang menggelapkan uang anggaran di daerahnya. Sudah 5 tahun ia jadi DPO, dan
baru hari ini tertangkap.
Kini orang-orang sadar, sejatinya selama ini banyak yang berteriak pro reformasi, tapi hanya setengah hati. Banyak yang lantang berkoar-koar ketidakadilan, hanya karena belum mendapatkan kursi. Teramat sulit untuk membedakan mana yang baik dan mana yang culas, meskipun mereka sama-sama masih menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kenyataannya, kadar kecintaan kepada negeri masih berbeda. (*)
HERU PATRIA adalah nama pena dari Heru Waluyo, seorang guru Sekolah Dasar di Wlingi, Blitar yang gemar menulis cerpen dan puisi. Karyanya lebih dari 50 buku antologi, juga dimuat diberbagai media massa, baik cetak maupun online. Di antaranya: Radar Blitar, Radar Banyuwangi, Radar Malang, Radar Madiun, Tanjungpinang Pos, Bhirawa, BMR Fox, Sinar Indonesia Baru, ProNusantara, Ngewiyak.com, Gokenje.Id, SuaraKrajan, Balipolitika, NegeriKertas.com, Idestra.Com, FiksiIslami.Com, NegeriSeribuMatahari.Com, Opinia, Literanesia.Com, PaberLand.Com, PaberMagz, Majalah Digital Lingkar Pena, Tabloid Perpustakaan Bung Karno, dan berbagai media lainnya.
Ilustrator: Eko Peye featuring Azizah
1 komentar untuk "Lagu Kita Masih Sama"